Si Jenius DWI HARTANTO calon penerus Mr. Crack HABIBIE
Tak menyangka ketika
suatu siang hari, saat dirinya lagi asyik melakukan penelitian di laboratorium
kampusnya di Belanda, ponselnya tiba-tiba berdering. Melihat nomor di layar,
dia tahu bahwa nomor itu berasal dari luar negeri Belanda. ’’Si penelepon hanya
bilang, Bapak ingin bertemu dengan Anda.
Saya sempat bingung,
siapa Bapak yang penelepon maksud,’’ cerita Dwi ketika ditemui setelah
pembukaan Visiting World Class Professor, forum pertemuan diaspora dari
berbagai negara, di Jakarta, Senin (19/12).
Sambil memendam rasa
penasaran, Dwi segera mencari tahu siapa ’’Bapak’’ yang ingin bertemu dirinya
itu. Usut punya usut, ternyata orang yang menelepon tersebut adalah petugas
protokoler mantan Presiden B.J. Habibie. Dan, yang dimaksud ’’Bapak’’ itu tak
lain adalah BJ. Habibie sendiri yang di dunia Internasional dikenal dengan
sebutan Mr.Crack.
Pria asal Jogjakarta
tersebut sempat berpikir ada apa gerangan tokoh sekaliber Pak Habibie ingin
menemui dirinya. Selang beberapa lama, pertemuan dua generasi antara Dwi
Hartanto dan Habibie pun terlaksana awal Desember lalu. Pertemuan nonformal dan
santai itu berlangsung di sebuah restoran di Den Haag, Belanda.
Tentu Dwi Hartanto,
bukan orang yang sembarangan bila Ilmuwan sekaliber Habibie saja sampai begitu
menggebu-gebu ingin menjumpainya di Belanda.Bagaimana tidak istimewa, saat ini
Indonesia yang sedang merancang bangun pesawat tempur generasi 4,5 dengan
negeri Korea yaitu KFX dan IFX, itu pun bila sukses sudah cukup mencengangkan
dunia karena lompatan teknologi yang di tempuh para insinyur Indonesia di mata
dunia.
Apalagi bila penemuan
pesawat tempur siluman generasi ke 6 yang sedang di kembangkan Dwi Hartanto di
kembangkan juga di Indonesia.Padahal teknologi pesawat tempur paling canggih
sekarang baru pada generasi ke 5 seperti yang dimiliki USA dan Rusia.Pesawat
generasi ke 6 yang akan dikembangkan Dwi, akan mampu melesat dengan kecepatan
tinggi di atas atmospir yang miskin oksigen, yang sebagian cirinya pesawat
generasi ke 6 tanpa ekor di badannya dan bisa dikendalikan tanpa pilot yang
dikendalikan dari darat.
#
Belum lama ini Dwi Hartanto pun mendapat anugerah dan kesempatan untuk mengukir prestasi dan mengharumkan Ibu Pertiwi lagi dengan menapakkan kaki di podium tertinggi dalam ajang prestigious kompetisi riset teknologi antar Space Agency (Lembaga Penerbangan dan Antariksa) dari seluruh dunia di Cologne, Jerman.#
Kompetisi prestigious antar space agency tersebut diikuti oleh ilmuwan-ilmuwan perwakilan space agency masing-masing negara, antara lain; ESA (Eropa), NASA (Amerika), DLR (ESA/ Jerman), ESTEC (ESA/ Belanda), JAXA (Jepang), UKSA (Inggris), CSA (Kanada), KARI (Korea), AEB (Brazil), INTA (Spanyol), dan negara-negara maju lainnya.#Si Jenius DWI HARTANTO calon penerus Mr. Crack HABIBIE
Kompetisi riset tersebut tergolong prestigious karena selain merupakan “privacy-based space agency research competition”, kompetisi tersebut juga menghadirkan topik-topik riset dengan teknologi tinggi (pinnacle of technology category) dan tahapan seleksi masuknya juga tidak mudah. Sebelum masuk ke tahap final di Cologne, Jerman, para ilmuwan harus melewati tahap seleksi internal di masing-masing space agency. Top 3 dari masing-masing space agency berhak mengikuti tahap final yang dibagi dalam 3 kategori atau topik yang berbeda, yaitu: Spacecraft Technology, Earth Observation dan Life Support Systems in Space. Dwi Hartanto menjuarai bidang kategori riset Spacecraft Technology dengan judul riset “Lethal weapon in the sky” atau “Senjata yang mematikan di angkasa”. Dari hasil riset tersebut, beberapa teknologi utama sudah berhasil ia patentkan bersama timnya
“Sesuai dengan judul
dalam risetnya, saya dan team mengembangkan pesawat tempur modern yang disebut
sebagai pesawat tempur generasi ke-6 (6th generation fighter jet). Berawal dari
keberhasilan saya dan team saat diminta untuk membantu mengembangkan pesawat
tempur EuroTyphoon di Airbus Space and Defence menjadi EuroTyphoon NG (Next
Generation/ yang sekarang dalam tahap testing tahap akhir) yang mampunyai
kemampuan tempur jauh lebih canggih dari generasi sebelumnya dari segi engine
performance, kecepatan, aerodinamik serta teknologi (avionik) tempurnya.
Keberhasilan tersebut membawa saya dan team untuk meneruskan perkembangan teknologi pesawat tempur ke level berikutnya yang digadang bakal menjadi “era pertempuran pesawat abad baru,” demikian penjelasan Dwi yang gelar bachelornya ia dapatkan dari Tokyo Institute of Technology, Jepang.
Keberhasilan tersebut membawa saya dan team untuk meneruskan perkembangan teknologi pesawat tempur ke level berikutnya yang digadang bakal menjadi “era pertempuran pesawat abad baru,” demikian penjelasan Dwi yang gelar bachelornya ia dapatkan dari Tokyo Institute of Technology, Jepang.
Dengan berbekal
penguasaan tekonologi yang mendalam dan matang dalam bidang roket dan jet
teknologi, Dwi dan timnya berhasil mengembangkan engine pesawat tempur modern
yang mereka sebut dengan “hybrid air-breathing rocket engine”.
Teknologi baru
tersebut memungkinkan pesawat tempur generasi ke-6 yang sedang mereka
kembangkan untuk melesat di dalam jangkauan atmosfir bumi dan near-space
(jangkaun di luar atmosfir, yang tipikal jet tempur generasi sebelumnya tidak
dapat terbang karena keterbatasan oksigen). Teknologi ini sangat berbeda dengan
teknologi mesin jet lainnya seperti SABRE (Synergistic Air-Breathing Rocket
Engine) maupun tipikal Scramjet/ Ramjet konvensional yang masih bermasalah
dalam thrust-to-weight ratio serta pengendalian energy yang dihasilkan.
Hybrid air-breathing
rocket engine yang mereka kembangkan tersebut mampu beroperasi bergantian dari
mode penerbangan level atomosfir ke mode penerbangan near-space atau sebaliknya
dengan kecepatan hypersonic (Mach 7-8), yang tentu saja mengalahkan engine
performance dan kecepetan pesawat-pesawat tempur generasi ke-5 yang hanya
mengandalkan teknologi “afterburner” konvensional.
Ketika ditanya tentang
pengalaman yang membanggakan ini, Dwi pun menambahkan: “ada sesuatu yang
menarik dari pengalaman ini, yaitu sesaat selepas presentasi, bahkan sebelum
saya sempat kembali ke tempat duduk, ada beberapa orang sedang menunggu dan
menghampiri saya dengan raut muka sangat serius yang sempet membuat saya
tercenung bertanya-tanya dalam hati beberapa saat.
Ternyata beberapa
orang tersebut adalah perwakilan dari Lockheed Martin dan NASA/ JPL yang
tertarik dengan teknologi yang sedang saya dan team kembangkan dan menawarkan
kerjasama strategis untuk bersedia masuk dalam program transfer teknologi untuk
membantu mengembangkan project di tempat mereka. Permintaan organisasi
kedirgantraan dan perusahaan besar tersebut sedang didiskusikan di level internal
ESA dan Airbus Defence and Space karena saya juga berafiliasi dengan perusahaan
tersebut, yang notabene adalah saingan dari Lockheed Martin, perusahaan pesawat
tempur dari Amerika Serikat.”
Setelah
berbincang-bincang tentang teknologi terbaru, Habibie meminta Dwi bersedia
membantu negara untuk meningkatkan mutu pendidikan teknologi terbarukan. Dwi
pun menyanggupi permintaan pakar pesawat terbang tersebut. Karena itu, dia
bersedia pulang untuk berbagi ilmu dan pengalaman dengan stakeholder pendidikan
tinggi di Indonesia.
Dalam kesempatan
tersebut, Dwi juga curhat soal gencarnya pemerintah Belanda menawari dirinya
paspor Negeri Kincir Angin. Sejauh ini, doktor bidang aerospace engineering itu
mampu menolak dengan halus.
’’Pak Habibie bilang,
kalau pemerintah Belanda masih menawari lagi, apalagi sampai mengintimidasi
saya disuruh melapor ke beliau. biar beliau sendiri yang akan menghadapi
pemerintah Belanda,’’ kenang Dwi.
Habibie mewanti-wanti
agar Dwi tetap mempertahankan identitas kewarganegaraannya. Jangan sampai mau
pindah kewarganegaraan di Belanda. Perkara berkarya membantu perusahaan multi
nasional atau bahkan membantu pemerintah Belanda, itu sah-sah saja sebagai
seorang profesional.
’’Kamu jangan sampai
mencabut jati diri dan kewarganegaraan Indonesia-mu,’’ pesan Habibie.Apalagi
bila mengingat kejadian ketika IPTN gulung tikar Amerika dan Eropa serasa
mendapat durian runtuh ketika para insyinyur Indonesia pada diaspora kesana,
dan beberapa orang sekarang menjadi top management di Eropa dan USA.Betapa sakit
hatinya pak Habibie.
Wanti-wanti Habibie
itu menguatkan pesan yang disampaikan orang tua Dwi. Setiap pulang ke Jogja,
misalnya saat Lebaran, orang tuanya selalu berpesan supaya Dwi tidak lupa asal
muasalnya Indonesia.
Pria 28 tahun yang
sebentar lagi bergelar profesor itu menyatakan, gencarnya tawaran berpaspor
Belanda itu muncul karena riset yang dilakukan sangat sensitif. Riset-riset Dwi
bersama para guru besar dari Technische Universiteit (TU) Delft selama ini
menggarap bidang national security Kementerian Pertahanan Belanda, European
Space Agency (ESA), NASA, Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA), serta
Airbus Defence.
Salah satu riset
sensitif yang dia garap adalah teknologi roket untuk militer dan misi luar
angkasa. Dwi juga menggarap satelit untuk riset luar angkasa serta pertahanan
dan keamanan (hankam). Dia terlibat pula dalam penyempurnaan teknologi pesawat
tempur Eurofighter Typhoon generasi anyar milik Airbus Defence.
’’Riset bidang itu kan
sensitif sekali jika digarap orang dari negara lain,’’ kata ilmuwan muda jenius
tersebut.
Kasarannya, potensi
untuk menjual hasil riset ke pesaing usaha atau membocorkan pertahanan Belanda
ke negara lain sangat memungkinkan. Karena itulah, Dwi berkali-kali ditawari
untuk pindah kewarganegaraan Belanda.
Dari riset-riset yang
dilakukan, Dwi telah mengantongi tiga patent di bidang spacecraft technology.
Sayang, dia terikat kontrak untuk merahasiakan patent tersebut. Dia tidak bisa
membeberkan tiga patent itu karena terkait dengan program strategis.
Dia mengaku cukup
dilematis saat menolak tawaran pindah kewarganegaraan tersebut. Sebab, biaya
kuliah S-2 dan S-3 Dwi di TU Delft dibiayai pemerintah Belanda. Dia tidak ingin
dicap sebagai ilmuan yang tidak bisa membalas budi berterima kasih kepada pihak
yang membiayai kuliahnya.
Sarjana lulusan Tokyo
Institute of Technology itu menegaskan, dirinya tidak memiliki tip khusus saat
belajar sehingga mampu meraih gelar doktor dalam usia muda. Menurut dia, kunci
utamanya adalah harus memiliki interest atau ketertarikan pada bidang yang
digeluti. ’’Butuh lebih dari passion,’’ ungkapnya.
Dia mencontohkan,
ketika menggarap roket pada 2015, dirinya hanya sempat tidur 2–3 jam. Waktunya
habis untuk melakukan riset-riset di laboratorium. Apalagi, risetnya memerlukan
perhatian khusus karena terkait dengan kemampuan high qualified. ’’Sama-sama
berbasis teknologi tingkat tinggi".
Bekal lain yang
dimiliki Dwi adalah kemampuan di bidang matematika dan fisika yang mumpuni.
Saat duduk di bangku sekolah, bungsu dua bersaudara itu juga hobi astronomi.
Kemampuan menguasai matematika dan fisika itulah yang mengantarkannya menjadi
calon profesor di bidang aerospace engineering dalam usia yang terbilang masih
muda.
"Jayalah tanah
airku tanah tumpah darahku, jayalah bangsaku, jayalah bahasaku, jayalah
negeriku INDONESIA"
(Sumber Batampos.co.id
dan Netralitas.com)
0 Response to "Si Jenius DWI HARTANTO calon penerus Mr. Crack HABIBIE"
Posting Komentar