Ini Gonzaga.
Kolese Gonzaga.
Bagi banyak orang, Gonzaga mungkin hanyalah salah satu dari sekian banyaknya sekolah Katolik di Jakarta. Namun bagi kami yang merasakan kehidupan di sini, Gonzaga adalah rumah kami.
Apa itu rumah? Menurut KBBI, rumah adalah tempat tinggal. Meski demikian, tak jarang rumah ditinggalkan. Yang membedakan rumah dari tempat lainnya adalah: rumah selalu membuat penghuninya ingin pulang.
Namun kenapa Gonzaga kami anggap sebagai rumah? Karena adanya sebuah kenyamanan tersendiri yang tidak dapat kami, penghuninya, temukan di tempat lain. Dari hampir dua setengah tahun di Gonzaga, saya menemukan dua hal yang membuat Gonzaga terasa seperti rumah: Kebebasan dan Kekeluargaan.
Kebebasan. Apakah anak Gonzaga bebas? Sebagian berkata ya dan yang lain akan membantahnya. Kebebasan banyak disalahartikan dan disalahgunakan orang untuk menuntut haknya ketimbang menjalankan kewajiban atau tanggung jawabnya, meski memang tidak selalu begitu.
"Ask not what your country can do for you, ask what you can do for your country."
-John F. Kennedy, Presiden AS ke-35.
Lantas kebebasan seperti apa yang Gonzaga berikan? Kebebasan untuk memulai kembali, mengembangkan pribadi, menemukan jatidiri, dan mewujudkan mimpi. Di Gonzaga, tidak ada batas pergaulan yang secara sengaja dibentuk (ngegap). Mau jadi anak gaul? Bisa. Mau jadi anak pinter? Bisa. Mau aktif dalam komunitas? Bisa. Mau punya banyak kenalan? Bisa. Mau temenan sama banyak cewe? Bisa. Cuman mau nyari orang yang bisa selalu jadi temen saat suka maupun duka? Pasti bisa.
Meski begitu, kebebasan yang ada di Gonzaga tidak luput dari tanggung jawab. Siswa Kolese Gonzaga dituntut untuk menghidupi 3C+C atau yang baru-baru ini dikenal sebagai 4C:
Competence. Tidak seperti yang dipikirkan banyak orang, Competence bukanlah soal kepintaran, namun daya juang. Siswa Gonzaga dituntut untuk Magis, yakni melampaui kemampuan diri. Contohnya sebagai berikut: rajin belajar, tutor, ngerjain pr hingga cumlaude; rajin latihan hingga juara lomba; tetap mendukung kontingen Gonzaga meski lelah; dan tetap menyelesaikan pr meski sedang mengurus kegiatan sekolah.
Conscience. Tidak seperti yang dibayangkan banyak orang, hati nurani (Conscience) tidak didapat dengan membaca kitab suci saja, melainkan melalui kemampuan berpikir kritis. Kemanpuan inipun didapat melalui observasi dan diasah dengan refleksi. Di Gonzaga, observasi dapat dilakukan saat forum dan refleksi dapat dilakukan kapan saja, meyesuaikan dengan kondisi emosional perefleksi, sehingga hasil refleksi dapat memberi pencerahan dan mengarahkan perefleksi ke arah yang lebih baik.
Compassion. Didasari oleh hati nurani, Compassion dapat diartikan sebagai kepedulian terhadap alam dan sesama. Dengan didukung daya juang yang tinggi, siswa/i Gonzaga dituntut agar bisa mewujudkan tindakan nyata sebagai benuk kepedulian terhadap alam dan sesama. Beberapa contoh dalam lingkup Gonzaga adalah tutoring, dimana yang lebih unggul dalam pelajaran mengajarkan yang membutuhkan bantuan dan melaskar, dimana Laskar Gonzaga memeberikan support untuk kontingen Gonzaga yang bertanding dalam berbagai ajang kompetisi.
Commitment. Sebagai nilai yang bersifat mengikat, Commitment berfungsi sebagai penggerak daya juang (Competence), pengasah hati nurani (Conscience), dan pelopor kepedulian (Compassion). Komitmen pada diri sendiri menggerakkan daya juang (belajar lebih giat, selalu ikut latihan menjelang lomba, dll). Komitmen pada Tuhan, diri sendiri, dan sesama mengasah hati nurani (tetap berpegang pada nilai yang diajarkan). Komitmen pada sesama melopori kepedulian (mengajari teman, mendengar keluh kesah teman, dll)
Selain itu, Gonzaga juga cukup ternama mengenai kekeluargaannya. Ini karena sejak MOPD atau yang baru-baru ini disebut MPLS, ditanamkan konsep bahwa SELURUH komunitas Kolese Gonzaga, tanpa memandang umur, kelas, suku, agama, SMP asal, dll merupakan satu kesatuan, satu keluarga. Meski pada prakteknya pasti akan terbentuk kelompok-kelompok tersendiri, konsep ini tetap tertanam dalam benak setiap anak Gonzaga.
"The Gonzagan Dream", saya namakan setelah American Dream, adalah impian setiap orang yang dulunya merasa ditekan selama masa SMP, dan datang ke Gonzaga untuk memulai hidup yang baru, mengimpikan sebuah kehidupan yang lebih baik. Dan dengan tertanamnya konsep kekeluargaan yang kental di Gonzaga, pergaulan pun tidak memandang batas. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, di Gonzaga, setiap orang bisa menjadi apa saja yang ia mau, jika ia mempunyai keinginan yang kuat.
Sebagai contoh, saya bukanlah seorang yang cukup menonjol selama di SD dan SMP. Bisa dibilang "cupu". Selama masa-masa itu, saya tidak terlalu aktif dalam kegiatan sekolah dan seringkali berada di bayangan siswa lain yang lebih menonjol, baik secara akademis maupun dalam pergaulan. Memang berat. Ketika saya menginjakkan kaki pertama kalinya di Kolese Gonzaga, muncul sebuah keinginan untuk memulai kembali semuanya dari 0. Inilah yang saya sebut "The Gonzagan Dream".
Selama hampir dua setengah tahun di Gonzaga, saya berusaha terlibat dalam kancah pergaulan, aktif dalam komunitas yang saya ikuti, terlibat dalam kepanitiaan, dan tidak pernah melewatkan waktu berkumpul dengan "keluarga" yang saya dapat di Gonzaga. Di samping itu, tak jarang juga saya "join bareng" atau sekedar ikut-ikutan duduk bersama di meja makan di kantin dengan anak Gonzaga lain yang saya juga tidak terlalu dekat pada awalnya, karena saya bisa. Bahkan tak jarang saya menjadi dekat dengan orang baru karena saya "sok asik sok deket" dengan mereka.
Ya, inilah Gonzaga. Gonzaga adalah rumah kami. Siapakah 'kami'? Semua orang yang merasakan kenikmatannya.
29 tahun sudah kolese ini menjadi rumah bagi segenap siswa, siswi, seminaris, guru-guru, karyawan, dan segenap orang lainnya yang bernaung dalam kehangatannya.
Suatu rumah haruslah bisa melindungi penghuninya dari segala macam hal diluar sana. Suatu rumah haruslah bisa memberikan rasa nyaman bagi penghuninya. Suatu rumah sudah seharusnya membuat penghuninya rindu untuk pulang, tak peduli seberapa terang gemerlap lampu kota, tak peduli seberapa mewah rumah orang lain. Dan di mata kami yang tak ingin melepas Gonzaga, inilah rumah kami.
Sekarang saya sudah kelas 3 SMA. Kelak tempat yang kerap saya sebut rumah kedua ini harus saya tinggalkan. Kelak, Gonzaga akan ada di tangan para pewaris-pewaris rumah ini. Teruntuk para pewaris Kolese Gonzaga, tolong, jaga baik-baik rumah ini, tempat dimana kami berlindung ketika di luar hujan turun dengan deras, tempat dimana kami merasa hangat saat di luar dingin menusuk tulang, tempat dimana kami pulang saat di luar kerinduan meliputi pikiran. Tolong, jagalah Gonzaga.
Sepatah kata teruntuk yang menganggap Gonzaga rumahnya:
Ketika orang bilang 'Gonzaga rumah kedua', bukan gedungnya yang dimaksud. Gedung Gonzaga kan terus berubah, dan itu tak bisa dicegah ataupun dicegat. Namun satu hal yang tak boleh berubah: kita. Karena kita adalah Gonzaga. Dan saat kalian dengar kata-kata 'Gonzaga rumah kedua', ingat: bukan gedungnya yang tak boleh berubah, bukan diri kita yang tak boleh berubah, tapi 'kita'lah yang tak boleh berubah. Karena kita bukan sekedar gedung yang bisa diubah-ubah, kita bukan sekedar gedung yang bisa diacak-acak, kita bukan sekedar daun yang bisa tertiup angin. Kita adalah Gonzaga. Rumah bagi mereka yang ingin pulang.
Kamis, 3 November 2016
Dari seorang Gonzagawan yang menyayangi rumahnya
0 Response to "Kami adalah Gonzaga"
Posting Komentar